Welcome to My Blog

Lentera Merah, nur di dalam kegelapan.

Awal Harapan dan Cita-Cita

Bersama teman-teman di pantai cermin,Sumatera Utara,Indonesia.

Setinas, Rakernas, Silatnas HIMNAS PKn

Wisata di Moseum Kalimantan Barat, Pontianak bersama Peserta dan Panitia Setinas, Rakernas, Silatnas HIMNAS PKn 2-4 November 2012 di STKIP PGRI Pontianak.

Foto Bersama Kombes Pol Drs. Heri Subiansauri, SH.MH.MSi

Dalam Seminar Nasional, Menyambut Hari Sumpah Pemuda tahun 2012 dengan tema “Pemuda Dan Patriotisme Dalam Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Sema FIS Unimed) bekerjasama dengan Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) .

Nomor Punggung 4

Pelepas Minat setelah pertandingan FIS CUP tahun 2012.

Pages

Monday, 19 December 2016

ANAK (MASIH) MENGENDARAI SEPEDA MOTOR




Oleh:
Fazli Rachman
(Staf Pusham Unimed dan Kader HMI)
Anak mengendarai sepeda motor seperti sudah menjadi hal yang wajar. Pasalnya anak penguna sepeda motor tidak kunjung berkurang dan relatif bertambah. Ini bisa kita lihat sepanjang hari terutama pada hari-hari sekolah, anak (siswa) pergi kesekolah dengan mengendarai sepeda motor. Dapat juga dilihat disekolah-sekolah relatif banyak sepeda motor yang terparkir dihalaman parkir sekolah, bahkan offer capacity sehingga masyarakat disekitar sekolah menyediakan tempat parkir berbayar.
Perlu dipahami anak adalah kelompok rentan pelanggaran HAM. Anak (UU No 23 Tahun 2002 Tentang Anak) adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak merupakan upaya penting untuk segera dilakukan. Sangat berbahaya sekali anak mengendarai sepeda motor, contohnya kecelakaan dengan berbagai penyebab hingga Ranmor karena anak dianggap sebagai kelompok lemah. Berbagai bahaya tersebut maka pembiaran anak mengendarai sepeda motor adalah pelanggaran hukum.
Masalah ini sejak beberapa tahun terakhir menjadi sorotan, sudah menjadi rahasia umum jika anak tidak memiliki SIM tetapi bebas berkendara. Padahal, seorang pengendara sepeda motor dikatakan dapat mengendarai sepeda motor setelah memiliki legitimasi kompetensi pengemudi yang disebut dengan Surat Izin Mengemudi (SIM). Untuk mendapatkan legitimasi kompetensi pengemudi/SIM seorang pengemudi wajib menggikuti dan lulus serangkaian ujian, dimulai ujian teori, kesehatan dan ujian keterampilan mengemudi dengan alat simulator atau ujian praktik. Lalu bagaimana dengan anak-anak?
Dalam Perkapolri No 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi dijelaskan bahwa untuk memperoleh SIM C (Surat Izin Mengemudi untuk sepeda motor) jika berusia minimal 17 tahun. Jelas bahwa sesorang yang dibawah 17 tahun tidak bisa mendapatkan SIM apalagi untuk mengendarai sepeda motor. SIM juga berfungsi sebagai identitas pengemudi, kontrol kompetensi pengemudi dan data forensik kepolisian. Tujuannya adalah agar terjaminnya legitimasi dan identitas terhadap kompetensi pengemudi dalam rangka mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban dan kelancaran berlalu lintas.
Duduk Pemasalahan
Anak mengendarai sepeda motor merupakan realita kekinian bahkan sudah menjadi sebuah “pemakluman”. Pasalanya kita masih belum memiliki alat transportasi publik yang aman dan nyaman. Transportasi publik dewasa ini relatif belum menjawab kebutuhan masyarakat. Rute yang ada relatif jauh sehingga untuk mencapai tujuan memakan waktu lama, ditambah dengan supir harus “mengetem” dengan waktu yang lama. Ini menjadi problem tersendiri bagi transportasi publik yang ada.
Nyatanya pemerintah sampai saat ini relatif tidak mampu menyediakan transportasi ramah, jika ada ongkosnya relatif mahal. Bayangkan jika anak masuk sekolah jam 7.30 WIB, mereka harus jam berapa berangkat dari rumah dan kemungkinan terlalu gelap dan sangat berbahaya. Kondisi lebih berat jika sekolah anak relatif lebih jauh dari rumah. Mengendarai sepeda motor menjadi solusi sesaat dibalik bahaya yang mengancam anak.
Orang tua yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan anak, ternyata mendukung. Disebabkan berbagai masalah transportasi public kita. Banyak orang tua memberikan sepeda motor anaknya disebabkan karena jarak sekolah jauh dan memakan waktu lama jika mengunakan transpotasi publik yang ada. Orang tua juga menghitung biaya dengan mengunakan transpotasi publik dua kali lebih banyak jika mengunakan sepeda motor. Belum lagi anak yang minta mengunakan sepeda motor hanya untuk “gaya-gayaan” saja. Tertapi bagaimanapun tindakan tersebut mengabaikan prinsip keselamatan dan keamanan anak.
Disisi lain, ternyata terjadi pembiaran yang dilakukan oleh Kepolisian. Penglihatan penulis selama ini, cukup bebas anak pergi sekolah dengan mengunakan seragam sekolah mengendarai sepeda motor. Walaupun mereka tampak menaati peraturan dengan menyalakan lampu, mengunakan kaca spion dan memakai helm, mereka tetaplah tidak memiliki SIM sebagai legitimasi kompetensi pengendara. Saya yakin petugas kepolisian mengetahui bahwa mereka adalah anak dibawah umur kepemilikan SIM (dibawah 17 tahun). Tentunya polisi mengetahui rata-rata siswa SMA kelas 3 saja masih berumur 16 tahun dan hanya sedikit sudah 17 tahun. Bahkan, anak SMP saja sudah mengendarai sepeda motor.
Kemungkinan Buruk
Sangat berbahaya anak mengendarai sepeda motor, banyak kemungkinan bisa terjadi jika anak tetap dibiarkan mengendarai sepeda motor. Ancaman kecelakaan selalu menghantui. Anak memiliki ancaman kecelakaan lebih tinggi dikarenakan tidak memiliki pengakuan kompetensi sebagai pengendara. Anak dalam masa pendewasaan kemungkinan akan kebut-kebutan dijalan karena hasrat ingin tampil dan mencoba.
Ancaman tersebut dikarenakan semakin tinggi anak penguna sepeda motor dan akan mempersempit ruang berkendara khususnya pada jam-jam sibuk. Tentu angka kecelakaan juga akan semakin tinggi. Dilain sisi , anak sebagai kelompok rentan lebih rawan Ranmor, tentu akan membahayakan. Pengunakaan sepeda motor juga semakin praktis dan mobile anak kemana saja dan tidak terkontrol. Bahkan sebagian kecil mereka dengan sepeda motornya membolos sekolah ketempat-tempat jauh atau tempat tidak dilihat keluarga.
Terakhir, tidak berjalannya program tertib berlalu lintas. Dasar berfikirnya adalah bagaimana mungkin tertib berlalu lintas terwujud jika masih ada pengendara yang tidak memiliki SIM (dibawah 17 tahuh) bebas berkendara di jalanan. Permasalahan klasik seperti ini sudah menjadi pembahasan umum masyarakat. Tetapi kenyataannya sampai hari ini masalah tersebut masih tetap terjadi.
Masalah ini bisa diselesaikan jika (1) orang tua benar melindungi dan mendidik anaknya dengan baik. Tidak mempermudah diri untuk melakukan sesuatu dengan praktis. (2) Kepolisian harus tetap konsisten menegakan hukum, terutama tertib berlalu lintas. Karena mobilitas manusia salah satunya di jalan raya. (3) Pemerintah harus bersegera diri untuk membenahi transportasi publik, sehingga terwujudnya transpistasi yang mengutamakan keamanan, ketertiban dan praktis. Dan yang terpenting adalah sinergitas antara orang tua sebagai pendidik, polisi dalam rangka penegakan hukum melalui tertib berlalu lintas dan pemerintah yang menyediakan transportasi publik. Sehingga anak tidak perlu lagi mengendarai sepeda motor untuk mobilitasnya sehari-hari dan semoga tertib berlalu lintas dapat terwujud dan generasi muda selamat sentausa.

Tulisan ini adalah tulisan lama yang, baru saya publish.

Friday, 14 August 2015

PAK OGAH KECIL YANG TERABAIKAN


Oleh
FAZLI RACHMAN
(Mahasiswa Jurusan PPKn FIS UNIMED dan Pengurus HMI Koms. FIS UNIMED)
Sosok Pak Ogah yang identik dengan selogan “gopek dulu dong”  memang diperbarui siring perkembangan zaman. Karakter Pak Ogah  dalam serial film “Leptop Si Unyil’ kini digunakan menyebut para pengatur lalu lintas tak resmi, biasa berada pada persimpangan-persimpangan jalan yang tidak terdapat lampu lalu lintas (Traffics Light) dan terjamah oleh Polisi lalu lintas. Pak Ogah sangat membantu dalam mengatur lancarnya lalu lintas dengan membantu penyebrangan jalan bagi kenderaan bermotor.
Keberadaan Pak Ogah semakin dibutuhkan ketika volume kendaraan semakin meningkat tetapi tidak didukung dengan peningkatan fasilitas serta Polisi lalu lintas. Meningkatnya volume kendaraan serta tingginya tingkat kesibukan pengunanya menyebabkan seringkali menyebabkan kemacetan yang panjang, Pasalnya semua pengguna kenderaan berlomba-lomba ingin cepat sampai ke tempat tujuan dengan berbondong-bondong menyerobot  jalan dari berbagai sisi. Kondisi seperti ini semakin diparah dengan tidak adanya Traffics Light  serta minimnya Polisi lalu lintas  yang membantu menormalisasi kemacetan pada jam-jam sibuk.
Pak Ogah kini menjelma sebagai pembantu Polisi lalu lintas untuk meredam kemacetan kota, bukan hanya di daerah Jawa-Jakarta tatapi juga di Medan. Para Pak Ogah  menjadikan kegiatan pengaturan lalu lintas sebagai profesinya, yang sebenarnya menjadi tugas Polisi Lalu lintas. Mengapa tidak, para pengguna jalan menganggap keberadaan Pak Ogah dapat membantu melancarkan jalannya hingga sampai ketujuan sehingga para pengguna jalan merela menggularkan uang untuk membayar jasa Pak Ogah yang telah membantunya menyebrang jalan. Biasanya para mengguna kendaraan kecuali roda dua dan tigalah yang menjadi sasaran kutipan oleh Pak Ogah karena dianggap membutuhkan ruang jalan yang besar dan lebih sulit untuk menyebrang.
Berpariasi uang yang diberikan kepada Pak Ogah, mulai dari 500 rupiah hingga 1000 rupiah, tergantung keikhalas mereka yang memberikan. Sedikit demi sedikit tentu pundi uang dikumpulkan hingga dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, apalagi jika dihitung dari volume kendaraan yang semakin bertambah tentu menjadi anugrah tersendiri bagi mereka.
Realita Pak Ogah Kecil
Iming–iming uang yang ditawarkan tentu menatik perhatian tersendiri oleh anak-anak untuk menjadi Pak Ogah. Pak Ogah kecil tak kalah dengan Pak Ogah lainya mereka dengan lihainya mengatur lalu lintas bagaikan seorang profesional yang telah berpengalaman untuk mengatur lalu lintas.
Mereka  pastinya sadar bahwa bahaya yang sangat besar didepan mata ketika melakukan perkerjaan sebagai pengatur lalu lintas. Tentu bahaya ini tidak dindahkah oleh Pak Ogah kecil demi mendapatkan pundi uang meski mengancam nyawanya, terkadang kurangnya kepercayaan penguna kenderaan menganggap ringgan instruksi yang justru dengan tenangnya mengabaikan justru menambah bahaya yang harus dihadapinya. Postur randah terkadang tidak nampak bahwa mereka berada di tengah jalan untuk mengatur jalan terkadang terjadi terkadang mereka hampir tertabrak. Tentu bahaya sudah menghantui didepan mata Pak Ogah kecil, tetapi bukan menjadi alasan mereka untuk berhenti mencari pundi uang dengan mengatur lalu lintas.
Pemandangan keberadaan Pak Ogah kecil di Medan dapat dilihat secara tidak sengaja pada persimpangan jalan yang tidak memiliki Traffics Light dan pada saat Traffics Light mati yang biasanya terjadi pada saat pemadaman listrik, memang tidak setiap saat pak ogah kecil membantu penyebrangan tetapi pada waktu tertentu yang tidak terjadwal.
Pak Ogak kecil adalah wujud kehilangan masa keemasan anak-anak yang seharusnya mendapatkan haknya sebagai anak bukan. Jalanan bukanlah daerah bermain buat anak-anak apalagi untuk mencari uang dengan menjadi pengatur lalu lintas karena bahaya yang sangat besar berada disana, tetapi realita seperti ini belum terlihat penyelesaianya melihat sampai sekarang keberadaan Pak Ogah kecil masih tetap ada.
Refleksi UU No. 23 Tahun 2002
Setiap anak berhak untu hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisiapasi secara wajar sesuai den dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan  diskriminasi, begitulah bunyi Pasal 4 UU No. 23 Tahun  2002. Tetapi fenomena Pak Ogah kecil adalah sebuah fakta bahwa terabaikannya hak anak dan sudah seharusnya pemerintah khusunya Pemko Medan memberikan perhatiannya kepada mereka.
Kemiskinan menyebabkan mereka harus rela melupakan masa kecilnya demi pundi uang yang harus dicarinya demi mencukupi uang kebutuhanya. Sudah seharusnya pemerintah khusunya Pemko Medan memberikan pelayaanan terhadap kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial sebagaimana bunyi Pasal 8 UU tersebut. Sehingga kedepanya mereka dapan memegang tongkat estafet kehidupan bangsa nantinya, tetapi seandainya fenomena Pak Ogah kecil masih tetap ada nantinya tentunya ini akan menjadi boomerang bagi bangsa karena  kerena mamiliki generasi penerus kecerdasan yang buruk karena terabainya pendidikan mereka akibat terkontaminasi budaya sosial yang buruk.
Keberadaan Pak Ogak kecil menjadi fakta gagalnya pemerintah memberikan perlindungan anak. Maka untuk itu perlu perhartian khusus tidak hanya oleh pemerintah, tetapi seluruh elemen masyarakat sebagai sosial kontrol yang secara langsung memiliki kontak langsung dengan pertumbuhan kecerdasan anak, sebab sinergitas antara pemerintah dan masyarakat khususnya orang tua sangat dibutuhkan untuk memperbaiki tumbuh-kembang anak bangsa sehingga terujutnya generasi penerus bangsa yang unggul segingga nantinya sebagai pemengan tongkat estafet bangsa dikemudian hari.


Tulisan ini diselesaikan pada 11 Juli 2013

Thursday, 6 August 2015

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (SMA/MA/SMK)



Hakikat pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menanam nilai-nilai Pancasila dalam sikap dan perilaku keseharian siswa. Oleh karena itu, penyusunan buku ini diusahakan untuk dapat mewadahi hakikat tersebut. Hal inilah yang secara tidak langsung menjadi keunggulan buku ini.

Secara ringkas, buku ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan buku-buku lain, yaitu sebagai barikut:
  • Materi yang disajikan secara ringkas, namun terperinci, dengan bahasan yang mudah dipahami.
  • Materi dan tugas menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran yang aktif.
  • Materi dapat dipraktikkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai tugas, baik individu maupun kelompok.
  • Siswa juga dibekali wawasan atau informasi tambahan mengenai kenegaraan, kebhinekaan, dan hukum yang relevan dalam isi materi dalam tiap babnya.
  • Rasa nasionalisme dan kebangsaan siswa dirangsang untuk tumbuh dan berkembang melalui peemberian tugas atau kutipan-kutipan yang relevan.
  • Daya fikir dan kekeritisan siswa dapat diasah dan disalurkan melalui tugas-tugas yang sifatnya menganalisis suatu kasus yang relevan dengan isi materi dalam tiap babnya.
  • Tugas-tugas dalam buku ini juga mengajak siswa untuk lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa menarik dan penting berhubungan dengan materi.

  • Pendidikan Kewarganegaran Kelas X

Penulis : Rima Yuliastuti, Wijianto dan Budi Waluyo
Terbitan : 2011
Penerbit : Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional
ISBN : 978-979-095-670-4 (no.jil.lengkap)/ 978-979-095-674-2 (jil.1.4)
Jumlah Halaman : 308

Kurikulum 2006
Download (Klik)





  • Pendidikan Kewarganegaran Kelas IX


Penulis : Rima Yuliastuti, Wijianto dan Budi Waluyo
Terbitan : 2011
Penerbit : Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional
ISBN : 978-979-095-670-4 (no.jil.lengkap)/978-979-095-677-3 (jil.2.3)
 Jumlah Halaman : 268
Kurikulum 2006
Download (Klik)




Friday, 3 July 2015

TANTANGAN REFORMA AGRARIA

OLEH
FAZLI RACHMAN



(Mahasiswa Jurusan PPKn Universitas Negeri Medan dan Pengurus HMI Kom. FIS Unimed)

Tantangan Reforma Agraria menjadi tuntutan bersama kalangan akademisi, Ornop serta organisasi-organisasi tani Indonesia untuk dilaksanakan. Sejak awal Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pidatonya pada awal tahun 2007 yang disiarkan oleh TVRI, Presiden SBY sempat menyinggung untuk melakukan pembaharuan (Reforma) Agraria. Pidato tersebut menjadi membawa angin segar bagi berbagai pihak yang menginginkan Reforma Agraria menjadi perhatian Pemerintah pada saat itu.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden SBY juga menyinggung tentang redistribusi Tanah Negara kepada sejumlah rumah tangga yang dikategirikan miskin petani. Jika kembali membuka Visi, Misi dan Program Pemerintahan saat itu agenda Reforma Agraria menjadi program sejajar dengan program lainya dalam rangka revitalisasi petani dan aktifitas pedesaan. Faktanya kejelasan program tersebut masih belum menemukan titik terang.
Reforma Agraria merupakan implementasi dari mandat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Penelolahan Sumberdaya Alam. Pada Pasal 7 menjelaskan “Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti”.
Sedangkan pada Pasal 8 menyebutkan “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia”. Jelas bahwa Reforma Agraria merupakan agenda utama yang harus diselasaikan oleh Pemerintah.
Indonesia kekayaan sumberdaya agraris, untuk itu pemerintah seharunya memberi perhatian lebih terhadap pembangunan sektor agraris. Bukan karena penduduk Indonesia banyak bergantung pada tanah dan sumberdaya agraris, tetapi potensi besar kekayaan agraris Indonesia yang berpotensi untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta mengatasi persoalan struktural seperti; kemiskinan, penganguran, laju urbanisasi, krisis pangan, energi dan ekologi.
Tapi ternyata potensi besar kekayaan agrasis Indonesia tidak dikelola secara baik. Potensi besar kekayaan agrasis terbiarkan percuma. Bahkan sebaliknya, kekayaan agrasis sering berbuah negarif. Pengelolahan dan kekuasaan Negara atas tanah serta sumberdaya alam berbanding terbalik dengan harapan. Ketimpangan sangat mendalam dirasakan oleh masyarakat, sehingga mendorong terjadinya konflik terbuka dari wujud ketidakadilan. Konflik agraria terjadi sering dibarengi dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Persoalan agraria masih menjadi daftar hitam Pemerintah sekarang yang harus ditanggani secepatnya. Berlarutnya persoalan agraria akan berdampak luas bagi Indonesia, lemahnya struktur ekonomi dan industrialisasi; ketimpangan struktur penguasaan tanah dan sumberdaya agraria; sehingga mengakibatkan meningkatnya konflik agraria; peraturan perundang-undangan tumpang tindih serta tidak berorientasi pada konsep ekonomi kerakyatan dan; birokrasi yang mementingkan pengusaha dengan alasan pertumbuhan ekonomi.
Komitmen dan Tantangan Presiden Mendatang
Belum terselesaikanya persoalan agraria pastinya akan diwariskan kepada Pemerintahan selanjutnya. Tahun ini menjadi momentum memilih pemimpin yang memiliki komitmen dalam pemanfaatan kekayaan sumberdaya agraria Indonesia dengan baik. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun ini sudah selayaknya memilih mengunakan rasionalias atas kualitas dari figur calon serta komitmen agrarian yang baik. Jika kita salah pilih maka 5 (lima) tahun Indonesia kedepan akan buram.
Siapapun nanti Presiden dan Wakilnya terpilih, mereka mempunyai beban berat dipundaknya. Sebab Indonesia Negara yang besar dengan segudang persoalan yang kompleks serta harus diselesaikan secepat mungkin. Begitu juga persoalan agraria, Reforma Agraris harus menjadi prioritas utama dalam program kerja nasionalnya. Potensi besar sumberdaya agraris sudah saatnya dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah kedepanya.
Setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi prioritas Pemerintah selanjutnya untuk segera melakukan pembaharuan agraria. Diantaranya dengan memperbaiki tatanan agraria yang telah timpang, pembangian yang adil atas sumberdaya agraria, mengurangi penguasan tanah yang berlebihan, menyelesaikan konflik agraria, memperkuat ekonomi kerakyatan di pedesaan, serta membangun pondasi yang kokoh atas dasar keadilan sosial sebagaimana amanah Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Selain itu, dapat membentuk lembaga khusus yang menangani Agraria penyelesaian konflik agraria. Serta mengkaji/review kembali peratutan perundang-undangan, khususnya praturan perundang-undangan terkait agraria serta sumberdaya alam. Siapapun terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden nanti dapat memanfaatkan potensi agraria Indonesia yang melimpah, apapun caranya. Semoga Pemerintahan kedepan jauh lebih baik.

Tulisan ini diselesaikan pada 29/6/2014


Tuesday, 30 June 2015

TENTANG UN

Oleh
Fazli Rachman
(Mahasiswa Jurusan PPKn UNIMED dan Pengurus HMI Komisariat FIS UNIMED)

            Sejak Ujian Nasional (UN) diselengarakan telah mengundang pro dan kontra dari berbagai elemen. Mereka yang pro terhadap UN tentu memeiliki pendapat dan pola fikir tersendiri mengapa UN sangat penting bagi peserta didik, sedangkan kontra memandang bahwa UN adalah sebuah wujud dari ketidakadilan serta kekeliruan Pemerintah terhadap penilaian hasil belajar peserta didik.
            Bagi mereka yang kontra, tentunya UN sebagai syarat kelulusan bagi peserta didik tentu kurang tepat jika melihat kondisi pendidikan Indonesia sekarang. Kualitas pendidikan yang belum merata baik sarana maupun prasarana antara kota dan desa serta daerah maju dan daerah tertinggal harus diikutsertakan dalam pelaksanaan UN dan diberikan soal yang sama. Oleh karena itu, terdapat banyak sekali kecurangan ketika penyelengaraan UN sehingga UN terkesan dipaksakan bagi peserta didik.
            Sedangkan bagi mereka yang pro UN, UN bukan hanya sekedar ujian kelulusan. Lebih jauh UN bertujuan untu pemetaan kualitas pendidikan; seleksi jenjang berikutnya; kelulusan dalam jenjang satuan pendidikan, serta; pembinaan dan pemberian bantuan terhadap satuan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, sebagaimana termaktub pada Pasal 68 PP No. 13 Tahun 2013 (Perubahan PP No. 19 Tahun 2005) Tantang Standar Nasional Pendidikan. Atas dasar tersebutlah diperlukan standarisasi/alat ukur secara nasional untuk peningkatan mutu pendidikan secara berkesinambungan perlahan dan menyeluruh.
***
Penyelengaraan UN sebagai standar kelulusan sekarang masih  mencakup aspek kognitif peserta didik. Sementara pendidikan mencakup 3 (tiga) aspek yaitu Kognitif, Psikomotor, dan Afektif. Untuk itu jika UN menjadi standar pendidikan di Indonesia tentu haruskah mencakup ketiga aspek tersebut, karena ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
            Sejak UN dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik sebenarnya terdapat kekeliruan. Bagaimana peserta didik dikatakan lulus jika hanya dinilai dari aspek kongnitif saja?. Sudah dijelaskan bahwa dalam konsep pendidikan Indonesia mencakup 3 (tiga) aspek yaitu Kognitif, Psikomotor, dan Afektif. Jika peserta didik dikatakan lulus hanya dalam satu aspek yaitu kognitif, maka terjadi ambiguitas dalam pendidikan Indonesia yang dilakukan selama ini.
            Seharusnya proses pendidikan yang telah pemerintah desain dengan cakupan  Kognitif, Psikomotor, dan Afektif, standar kelulusanya harusnya mencakup tiga aspek juga. Kenneth D. Moore menjelaskan  Kognitif, Psikomotor, dan Afektif memiliki subaspek seperti aspek kognitif yang terdiri dari ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintetis; afektif terdiri dari penerimaan, tanggapan, penanaman nilai, pengorganisasian nilai-nilai, karakterisasi kehidupan; dan psikomotor terdiri dari memperhatikan, peniruan, pembiasaan dan pemantapan prilaku.
            Sebelum proses pembelajaran, guru harus menyiapkan sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat Kognitif, Psikomotor, dan Afektif didalamnya. Tentunya proses pembelajaran juga mencakup 3 (tiga) aspek tersebut. Oleh karenanya penilaian terhadap hasil pembelajaran juga harus mencakup 3 (aspek tersebut). Baik kurikulum 2006 ataupun 2013 menurut penulis juga memuat ketiga aspek tersebut.
            Jika UN dijadikan sebagai standar kelulusuan peserta didik tentu kurang tepat, karena hanya mencakup aspek kognitif. Menurut penulis dapat dijadikan sebagai standar kelulusan peserta didik jika mencakup 3 (tiga) aspek tersebut, untuk itu UN harus direkonstruksi ulang sebagaimana mestinya.
Pelaksanaan UN sebagai syarat kelulusan bagi peserta didik tentu kurang tepat melihat kondisi pendidikan Indonesia sekarang. Kualitas pendidikan yang belum merata baik sarana maupun prasarana antara kota dan desa serta daerah maju dan daerah tertinggal harus diikutsertakan dalam pelaksanaan UN dan diberikan soal yang sama. Oleh karena itu, terdapat banyak sekali kecurangan ketika penyelengaraan UN sehingga UN terkesan dipaksakan bagi peserta didik.

***
            UN baik sebagai standar nasional pendidikan. Jika tidak ada satu alat ukur pendidikan, bagaimana dapat mengevaluasi pendidikan. Pelaksanaan UN dapat mengambarkan peta pendidikan nasional baik terhadap peserta didik, satuan pendidikan, dan kelembagaan bahkan terhadap konsep pendidikannya.
Apabila UN telah selesai dilaksanakan, maka hasil UN dapat dijadikan gambaran pendidikan nasional. Gambaran tersebut dapat menjadi acuan pembenahan mutu pendidikan. Jika UN tidak dilaksanakan pemerintah akan kewalahan untuk menentukan peta pendidikan nasional dan bagaimana pemerintah dapat melakukan pengukuran serta evaluasi terhadap pendidikan. UN bukan hanya sekedar ujian kelulusan. Lebih jauh UN bertujuan untu pemetaan kualitas pendidikan; seleksi jenjang berikutnya; kelulusan dalam jenjang satuan pendidikan, serta; pembinaan dan pemberian bantuan terhadap satuan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Setidaknya problem pelaksanaan UN, jurtsu harus diperbaiki secara berkesinambungan. Secara umum, peningkatan kualitas guru; melengkapi sarana dan prasarana sekolah; akses informasi pendidikan yang baik; mengatasi dapak psikologi pelaksanaan UN bagi peserta didik, serta; meninjau kembali konsep pendidikan nasional. Perbaikan masalah UN yang selama ini telah beberapa kali terlaksana haruslah secara nyata dapat dirasakan oleh berbagai eleman pendidikan.
Kesimpulan
            Baik kelompok pro atau kontra terhadap UN, mereka sama-sama menggingkan meningkatnya kualitas pendidikan Indonesia. Melalui pelaksanaan UN seharusnya tidak menjadi “ajang penghakiman peserta didik” atas kualitas pendidikan Indonesia yang belum baik dan merata. UN seharusnya menjadi pelajaran kedepanya bagi penyelengara pendidikan atas pelaksanaan pendidikan selama peserta didik belajar pada satuan pendidikan.

            UN seharusnya menjadi ajang evaluasi bagi peserta didik dan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat kita rasakan jika (salah satunya) UN berjalan dengan baik. Bukan hanya pada pelaksanaannya tetapi evaluasi, serta pengembangan secara berkesinambungan terhadap pendidikan Indonesia. Harapanya adalah kualitas pendidikan semakin baik.

Tulisan ini diselesaikan pada pertengahan 2014