Welcome to My Blog

Lentera Merah, nur di dalam kegelapan.

Awal Harapan dan Cita-Cita

Bersama teman-teman di pantai cermin,Sumatera Utara,Indonesia.

Setinas, Rakernas, Silatnas HIMNAS PKn

Wisata di Moseum Kalimantan Barat, Pontianak bersama Peserta dan Panitia Setinas, Rakernas, Silatnas HIMNAS PKn 2-4 November 2012 di STKIP PGRI Pontianak.

Foto Bersama Kombes Pol Drs. Heri Subiansauri, SH.MH.MSi

Dalam Seminar Nasional, Menyambut Hari Sumpah Pemuda tahun 2012 dengan tema “Pemuda Dan Patriotisme Dalam Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Sema FIS Unimed) bekerjasama dengan Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) .

Nomor Punggung 4

Pelepas Minat setelah pertandingan FIS CUP tahun 2012.

Pages

Friday 14 August 2015

PAK OGAH KECIL YANG TERABAIKAN


Oleh
FAZLI RACHMAN
(Mahasiswa Jurusan PPKn FIS UNIMED dan Pengurus HMI Koms. FIS UNIMED)
Sosok Pak Ogah yang identik dengan selogan “gopek dulu dong”  memang diperbarui siring perkembangan zaman. Karakter Pak Ogah  dalam serial film “Leptop Si Unyil’ kini digunakan menyebut para pengatur lalu lintas tak resmi, biasa berada pada persimpangan-persimpangan jalan yang tidak terdapat lampu lalu lintas (Traffics Light) dan terjamah oleh Polisi lalu lintas. Pak Ogah sangat membantu dalam mengatur lancarnya lalu lintas dengan membantu penyebrangan jalan bagi kenderaan bermotor.
Keberadaan Pak Ogah semakin dibutuhkan ketika volume kendaraan semakin meningkat tetapi tidak didukung dengan peningkatan fasilitas serta Polisi lalu lintas. Meningkatnya volume kendaraan serta tingginya tingkat kesibukan pengunanya menyebabkan seringkali menyebabkan kemacetan yang panjang, Pasalnya semua pengguna kenderaan berlomba-lomba ingin cepat sampai ke tempat tujuan dengan berbondong-bondong menyerobot  jalan dari berbagai sisi. Kondisi seperti ini semakin diparah dengan tidak adanya Traffics Light  serta minimnya Polisi lalu lintas  yang membantu menormalisasi kemacetan pada jam-jam sibuk.
Pak Ogah kini menjelma sebagai pembantu Polisi lalu lintas untuk meredam kemacetan kota, bukan hanya di daerah Jawa-Jakarta tatapi juga di Medan. Para Pak Ogah  menjadikan kegiatan pengaturan lalu lintas sebagai profesinya, yang sebenarnya menjadi tugas Polisi Lalu lintas. Mengapa tidak, para pengguna jalan menganggap keberadaan Pak Ogah dapat membantu melancarkan jalannya hingga sampai ketujuan sehingga para pengguna jalan merela menggularkan uang untuk membayar jasa Pak Ogah yang telah membantunya menyebrang jalan. Biasanya para mengguna kendaraan kecuali roda dua dan tigalah yang menjadi sasaran kutipan oleh Pak Ogah karena dianggap membutuhkan ruang jalan yang besar dan lebih sulit untuk menyebrang.
Berpariasi uang yang diberikan kepada Pak Ogah, mulai dari 500 rupiah hingga 1000 rupiah, tergantung keikhalas mereka yang memberikan. Sedikit demi sedikit tentu pundi uang dikumpulkan hingga dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, apalagi jika dihitung dari volume kendaraan yang semakin bertambah tentu menjadi anugrah tersendiri bagi mereka.
Realita Pak Ogah Kecil
Iming–iming uang yang ditawarkan tentu menatik perhatian tersendiri oleh anak-anak untuk menjadi Pak Ogah. Pak Ogah kecil tak kalah dengan Pak Ogah lainya mereka dengan lihainya mengatur lalu lintas bagaikan seorang profesional yang telah berpengalaman untuk mengatur lalu lintas.
Mereka  pastinya sadar bahwa bahaya yang sangat besar didepan mata ketika melakukan perkerjaan sebagai pengatur lalu lintas. Tentu bahaya ini tidak dindahkah oleh Pak Ogah kecil demi mendapatkan pundi uang meski mengancam nyawanya, terkadang kurangnya kepercayaan penguna kenderaan menganggap ringgan instruksi yang justru dengan tenangnya mengabaikan justru menambah bahaya yang harus dihadapinya. Postur randah terkadang tidak nampak bahwa mereka berada di tengah jalan untuk mengatur jalan terkadang terjadi terkadang mereka hampir tertabrak. Tentu bahaya sudah menghantui didepan mata Pak Ogah kecil, tetapi bukan menjadi alasan mereka untuk berhenti mencari pundi uang dengan mengatur lalu lintas.
Pemandangan keberadaan Pak Ogah kecil di Medan dapat dilihat secara tidak sengaja pada persimpangan jalan yang tidak memiliki Traffics Light dan pada saat Traffics Light mati yang biasanya terjadi pada saat pemadaman listrik, memang tidak setiap saat pak ogah kecil membantu penyebrangan tetapi pada waktu tertentu yang tidak terjadwal.
Pak Ogak kecil adalah wujud kehilangan masa keemasan anak-anak yang seharusnya mendapatkan haknya sebagai anak bukan. Jalanan bukanlah daerah bermain buat anak-anak apalagi untuk mencari uang dengan menjadi pengatur lalu lintas karena bahaya yang sangat besar berada disana, tetapi realita seperti ini belum terlihat penyelesaianya melihat sampai sekarang keberadaan Pak Ogah kecil masih tetap ada.
Refleksi UU No. 23 Tahun 2002
Setiap anak berhak untu hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisiapasi secara wajar sesuai den dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan  diskriminasi, begitulah bunyi Pasal 4 UU No. 23 Tahun  2002. Tetapi fenomena Pak Ogah kecil adalah sebuah fakta bahwa terabaikannya hak anak dan sudah seharusnya pemerintah khusunya Pemko Medan memberikan perhatiannya kepada mereka.
Kemiskinan menyebabkan mereka harus rela melupakan masa kecilnya demi pundi uang yang harus dicarinya demi mencukupi uang kebutuhanya. Sudah seharusnya pemerintah khusunya Pemko Medan memberikan pelayaanan terhadap kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial sebagaimana bunyi Pasal 8 UU tersebut. Sehingga kedepanya mereka dapan memegang tongkat estafet kehidupan bangsa nantinya, tetapi seandainya fenomena Pak Ogah kecil masih tetap ada nantinya tentunya ini akan menjadi boomerang bagi bangsa karena  kerena mamiliki generasi penerus kecerdasan yang buruk karena terabainya pendidikan mereka akibat terkontaminasi budaya sosial yang buruk.
Keberadaan Pak Ogak kecil menjadi fakta gagalnya pemerintah memberikan perlindungan anak. Maka untuk itu perlu perhartian khusus tidak hanya oleh pemerintah, tetapi seluruh elemen masyarakat sebagai sosial kontrol yang secara langsung memiliki kontak langsung dengan pertumbuhan kecerdasan anak, sebab sinergitas antara pemerintah dan masyarakat khususnya orang tua sangat dibutuhkan untuk memperbaiki tumbuh-kembang anak bangsa sehingga terujutnya generasi penerus bangsa yang unggul segingga nantinya sebagai pemengan tongkat estafet bangsa dikemudian hari.


Tulisan ini diselesaikan pada 11 Juli 2013

Thursday 6 August 2015

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (SMA/MA/SMK)



Hakikat pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk menanam nilai-nilai Pancasila dalam sikap dan perilaku keseharian siswa. Oleh karena itu, penyusunan buku ini diusahakan untuk dapat mewadahi hakikat tersebut. Hal inilah yang secara tidak langsung menjadi keunggulan buku ini.

Secara ringkas, buku ini memiliki keunggulan dibandingkan dengan buku-buku lain, yaitu sebagai barikut:
  • Materi yang disajikan secara ringkas, namun terperinci, dengan bahasan yang mudah dipahami.
  • Materi dan tugas menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran yang aktif.
  • Materi dapat dipraktikkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari melalui berbagai tugas, baik individu maupun kelompok.
  • Siswa juga dibekali wawasan atau informasi tambahan mengenai kenegaraan, kebhinekaan, dan hukum yang relevan dalam isi materi dalam tiap babnya.
  • Rasa nasionalisme dan kebangsaan siswa dirangsang untuk tumbuh dan berkembang melalui peemberian tugas atau kutipan-kutipan yang relevan.
  • Daya fikir dan kekeritisan siswa dapat diasah dan disalurkan melalui tugas-tugas yang sifatnya menganalisis suatu kasus yang relevan dengan isi materi dalam tiap babnya.
  • Tugas-tugas dalam buku ini juga mengajak siswa untuk lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa menarik dan penting berhubungan dengan materi.

  • Pendidikan Kewarganegaran Kelas X

Penulis : Rima Yuliastuti, Wijianto dan Budi Waluyo
Terbitan : 2011
Penerbit : Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional
ISBN : 978-979-095-670-4 (no.jil.lengkap)/ 978-979-095-674-2 (jil.1.4)
Jumlah Halaman : 308

Kurikulum 2006
Download (Klik)





  • Pendidikan Kewarganegaran Kelas IX


Penulis : Rima Yuliastuti, Wijianto dan Budi Waluyo
Terbitan : 2011
Penerbit : Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional
ISBN : 978-979-095-670-4 (no.jil.lengkap)/978-979-095-677-3 (jil.2.3)
 Jumlah Halaman : 268
Kurikulum 2006
Download (Klik)




Friday 3 July 2015

TANTANGAN REFORMA AGRARIA

OLEH
FAZLI RACHMAN



(Mahasiswa Jurusan PPKn Universitas Negeri Medan dan Pengurus HMI Kom. FIS Unimed)

Tantangan Reforma Agraria menjadi tuntutan bersama kalangan akademisi, Ornop serta organisasi-organisasi tani Indonesia untuk dilaksanakan. Sejak awal Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui pidatonya pada awal tahun 2007 yang disiarkan oleh TVRI, Presiden SBY sempat menyinggung untuk melakukan pembaharuan (Reforma) Agraria. Pidato tersebut menjadi membawa angin segar bagi berbagai pihak yang menginginkan Reforma Agraria menjadi perhatian Pemerintah pada saat itu.
Dalam kesempatan yang sama, Presiden SBY juga menyinggung tentang redistribusi Tanah Negara kepada sejumlah rumah tangga yang dikategirikan miskin petani. Jika kembali membuka Visi, Misi dan Program Pemerintahan saat itu agenda Reforma Agraria menjadi program sejajar dengan program lainya dalam rangka revitalisasi petani dan aktifitas pedesaan. Faktanya kejelasan program tersebut masih belum menemukan titik terang.
Reforma Agraria merupakan implementasi dari mandat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR RI) Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaharuan Agraria dan Penelolahan Sumberdaya Alam. Pada Pasal 7 menjelaskan “Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti”.
Sedangkan pada Pasal 8 menyebutkan “Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia”. Jelas bahwa Reforma Agraria merupakan agenda utama yang harus diselasaikan oleh Pemerintah.
Indonesia kekayaan sumberdaya agraris, untuk itu pemerintah seharunya memberi perhatian lebih terhadap pembangunan sektor agraris. Bukan karena penduduk Indonesia banyak bergantung pada tanah dan sumberdaya agraris, tetapi potensi besar kekayaan agraris Indonesia yang berpotensi untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi serta mengatasi persoalan struktural seperti; kemiskinan, penganguran, laju urbanisasi, krisis pangan, energi dan ekologi.
Tapi ternyata potensi besar kekayaan agrasis Indonesia tidak dikelola secara baik. Potensi besar kekayaan agrasis terbiarkan percuma. Bahkan sebaliknya, kekayaan agrasis sering berbuah negarif. Pengelolahan dan kekuasaan Negara atas tanah serta sumberdaya alam berbanding terbalik dengan harapan. Ketimpangan sangat mendalam dirasakan oleh masyarakat, sehingga mendorong terjadinya konflik terbuka dari wujud ketidakadilan. Konflik agraria terjadi sering dibarengi dengan pelanggaran hak asasi manusia.
Persoalan agraria masih menjadi daftar hitam Pemerintah sekarang yang harus ditanggani secepatnya. Berlarutnya persoalan agraria akan berdampak luas bagi Indonesia, lemahnya struktur ekonomi dan industrialisasi; ketimpangan struktur penguasaan tanah dan sumberdaya agraria; sehingga mengakibatkan meningkatnya konflik agraria; peraturan perundang-undangan tumpang tindih serta tidak berorientasi pada konsep ekonomi kerakyatan dan; birokrasi yang mementingkan pengusaha dengan alasan pertumbuhan ekonomi.
Komitmen dan Tantangan Presiden Mendatang
Belum terselesaikanya persoalan agraria pastinya akan diwariskan kepada Pemerintahan selanjutnya. Tahun ini menjadi momentum memilih pemimpin yang memiliki komitmen dalam pemanfaatan kekayaan sumberdaya agraria Indonesia dengan baik. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun ini sudah selayaknya memilih mengunakan rasionalias atas kualitas dari figur calon serta komitmen agrarian yang baik. Jika kita salah pilih maka 5 (lima) tahun Indonesia kedepan akan buram.
Siapapun nanti Presiden dan Wakilnya terpilih, mereka mempunyai beban berat dipundaknya. Sebab Indonesia Negara yang besar dengan segudang persoalan yang kompleks serta harus diselesaikan secepat mungkin. Begitu juga persoalan agraria, Reforma Agraris harus menjadi prioritas utama dalam program kerja nasionalnya. Potensi besar sumberdaya agraris sudah saatnya dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah kedepanya.
Setidaknya ada beberapa hal yang harus menjadi prioritas Pemerintah selanjutnya untuk segera melakukan pembaharuan agraria. Diantaranya dengan memperbaiki tatanan agraria yang telah timpang, pembangian yang adil atas sumberdaya agraria, mengurangi penguasan tanah yang berlebihan, menyelesaikan konflik agraria, memperkuat ekonomi kerakyatan di pedesaan, serta membangun pondasi yang kokoh atas dasar keadilan sosial sebagaimana amanah Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Selain itu, dapat membentuk lembaga khusus yang menangani Agraria penyelesaian konflik agraria. Serta mengkaji/review kembali peratutan perundang-undangan, khususnya praturan perundang-undangan terkait agraria serta sumberdaya alam. Siapapun terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden nanti dapat memanfaatkan potensi agraria Indonesia yang melimpah, apapun caranya. Semoga Pemerintahan kedepan jauh lebih baik.

Tulisan ini diselesaikan pada 29/6/2014


Tuesday 30 June 2015

TENTANG UN

Oleh
Fazli Rachman
(Mahasiswa Jurusan PPKn UNIMED dan Pengurus HMI Komisariat FIS UNIMED)

            Sejak Ujian Nasional (UN) diselengarakan telah mengundang pro dan kontra dari berbagai elemen. Mereka yang pro terhadap UN tentu memeiliki pendapat dan pola fikir tersendiri mengapa UN sangat penting bagi peserta didik, sedangkan kontra memandang bahwa UN adalah sebuah wujud dari ketidakadilan serta kekeliruan Pemerintah terhadap penilaian hasil belajar peserta didik.
            Bagi mereka yang kontra, tentunya UN sebagai syarat kelulusan bagi peserta didik tentu kurang tepat jika melihat kondisi pendidikan Indonesia sekarang. Kualitas pendidikan yang belum merata baik sarana maupun prasarana antara kota dan desa serta daerah maju dan daerah tertinggal harus diikutsertakan dalam pelaksanaan UN dan diberikan soal yang sama. Oleh karena itu, terdapat banyak sekali kecurangan ketika penyelengaraan UN sehingga UN terkesan dipaksakan bagi peserta didik.
            Sedangkan bagi mereka yang pro UN, UN bukan hanya sekedar ujian kelulusan. Lebih jauh UN bertujuan untu pemetaan kualitas pendidikan; seleksi jenjang berikutnya; kelulusan dalam jenjang satuan pendidikan, serta; pembinaan dan pemberian bantuan terhadap satuan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, sebagaimana termaktub pada Pasal 68 PP No. 13 Tahun 2013 (Perubahan PP No. 19 Tahun 2005) Tantang Standar Nasional Pendidikan. Atas dasar tersebutlah diperlukan standarisasi/alat ukur secara nasional untuk peningkatan mutu pendidikan secara berkesinambungan perlahan dan menyeluruh.
***
Penyelengaraan UN sebagai standar kelulusan sekarang masih  mencakup aspek kognitif peserta didik. Sementara pendidikan mencakup 3 (tiga) aspek yaitu Kognitif, Psikomotor, dan Afektif. Untuk itu jika UN menjadi standar pendidikan di Indonesia tentu haruskah mencakup ketiga aspek tersebut, karena ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
            Sejak UN dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik sebenarnya terdapat kekeliruan. Bagaimana peserta didik dikatakan lulus jika hanya dinilai dari aspek kongnitif saja?. Sudah dijelaskan bahwa dalam konsep pendidikan Indonesia mencakup 3 (tiga) aspek yaitu Kognitif, Psikomotor, dan Afektif. Jika peserta didik dikatakan lulus hanya dalam satu aspek yaitu kognitif, maka terjadi ambiguitas dalam pendidikan Indonesia yang dilakukan selama ini.
            Seharusnya proses pendidikan yang telah pemerintah desain dengan cakupan  Kognitif, Psikomotor, dan Afektif, standar kelulusanya harusnya mencakup tiga aspek juga. Kenneth D. Moore menjelaskan  Kognitif, Psikomotor, dan Afektif memiliki subaspek seperti aspek kognitif yang terdiri dari ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintetis; afektif terdiri dari penerimaan, tanggapan, penanaman nilai, pengorganisasian nilai-nilai, karakterisasi kehidupan; dan psikomotor terdiri dari memperhatikan, peniruan, pembiasaan dan pemantapan prilaku.
            Sebelum proses pembelajaran, guru harus menyiapkan sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat Kognitif, Psikomotor, dan Afektif didalamnya. Tentunya proses pembelajaran juga mencakup 3 (tiga) aspek tersebut. Oleh karenanya penilaian terhadap hasil pembelajaran juga harus mencakup 3 (aspek tersebut). Baik kurikulum 2006 ataupun 2013 menurut penulis juga memuat ketiga aspek tersebut.
            Jika UN dijadikan sebagai standar kelulusuan peserta didik tentu kurang tepat, karena hanya mencakup aspek kognitif. Menurut penulis dapat dijadikan sebagai standar kelulusan peserta didik jika mencakup 3 (tiga) aspek tersebut, untuk itu UN harus direkonstruksi ulang sebagaimana mestinya.
Pelaksanaan UN sebagai syarat kelulusan bagi peserta didik tentu kurang tepat melihat kondisi pendidikan Indonesia sekarang. Kualitas pendidikan yang belum merata baik sarana maupun prasarana antara kota dan desa serta daerah maju dan daerah tertinggal harus diikutsertakan dalam pelaksanaan UN dan diberikan soal yang sama. Oleh karena itu, terdapat banyak sekali kecurangan ketika penyelengaraan UN sehingga UN terkesan dipaksakan bagi peserta didik.

***
            UN baik sebagai standar nasional pendidikan. Jika tidak ada satu alat ukur pendidikan, bagaimana dapat mengevaluasi pendidikan. Pelaksanaan UN dapat mengambarkan peta pendidikan nasional baik terhadap peserta didik, satuan pendidikan, dan kelembagaan bahkan terhadap konsep pendidikannya.
Apabila UN telah selesai dilaksanakan, maka hasil UN dapat dijadikan gambaran pendidikan nasional. Gambaran tersebut dapat menjadi acuan pembenahan mutu pendidikan. Jika UN tidak dilaksanakan pemerintah akan kewalahan untuk menentukan peta pendidikan nasional dan bagaimana pemerintah dapat melakukan pengukuran serta evaluasi terhadap pendidikan. UN bukan hanya sekedar ujian kelulusan. Lebih jauh UN bertujuan untu pemetaan kualitas pendidikan; seleksi jenjang berikutnya; kelulusan dalam jenjang satuan pendidikan, serta; pembinaan dan pemberian bantuan terhadap satuan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Setidaknya problem pelaksanaan UN, jurtsu harus diperbaiki secara berkesinambungan. Secara umum, peningkatan kualitas guru; melengkapi sarana dan prasarana sekolah; akses informasi pendidikan yang baik; mengatasi dapak psikologi pelaksanaan UN bagi peserta didik, serta; meninjau kembali konsep pendidikan nasional. Perbaikan masalah UN yang selama ini telah beberapa kali terlaksana haruslah secara nyata dapat dirasakan oleh berbagai eleman pendidikan.
Kesimpulan
            Baik kelompok pro atau kontra terhadap UN, mereka sama-sama menggingkan meningkatnya kualitas pendidikan Indonesia. Melalui pelaksanaan UN seharusnya tidak menjadi “ajang penghakiman peserta didik” atas kualitas pendidikan Indonesia yang belum baik dan merata. UN seharusnya menjadi pelajaran kedepanya bagi penyelengara pendidikan atas pelaksanaan pendidikan selama peserta didik belajar pada satuan pendidikan.

            UN seharusnya menjadi ajang evaluasi bagi peserta didik dan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat kita rasakan jika (salah satunya) UN berjalan dengan baik. Bukan hanya pada pelaksanaannya tetapi evaluasi, serta pengembangan secara berkesinambungan terhadap pendidikan Indonesia. Harapanya adalah kualitas pendidikan semakin baik.

Tulisan ini diselesaikan pada pertengahan 2014

Monday 29 June 2015

(MENINGKATKAN) GAIRAH MEMILIH

Oleh:
Fazli Rachman
(Mahasiswa PPKn FIS UNIMED dan Pengurus HMI Koms. FIS UNMED)

Mengairahkan partisipasi publik untuk pemilu 2014 harus diupayakan secara maksimal demi walaupun tidak ada paksaan untuk turut berpartisipasi. Meningkatnya jumlah pemilih dibandingkan tahun pemilu tahun 2009 bukan menjadi tolak ukur untuk kegairahan pemilu legislatif  2014 nantinya.
Lonjakan pemilih pada pemilu legislatif 2014 nantinya meningkat hingga 10 persen, menurut data sebelumnya jumlah pemilih mencapai 171 juta lebih jiwa sedangkan  untuk pemilu legislatif tahun 2014 nantinya mencapai 188 juta lebih jiwa setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun amat disayangkan ketika kenaikan jumlah pemilih tidak diikuti dengan naiknya minat memilih para wakil-nya yang nantinya akan duduk di singgasana politik yang katanya akan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Buktinya tingkat pasrtisipasi publik pada 1999 dan 2009 pada pemilu legislatif menurun 20 persen.
Klimaks partisipasi politik masyarakat ketika euforia politik yang sering terjadi  era revormasi seringnya pesta demokrasi digelar hanya menghasilkan wakil dan pemimpin rakyat tanpa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat, oleh karenanya tumbuh pada masyarakat sikap apatis akan pemilu. Pemilu adalah bagian dari demokrasi dan demikrasi adalah alat untuk memporoleh kesejahteraan.
Pemilu tahun 2014 maksimalkan diusahakan agar gairah untuk ikut dalam pesta demokrasi dengan  memilih dapat meningkat. Dewasa atau tidaknya demokrasi Indonesia tetap masih banyak masyarakat enggan untuk memilih dan menggangap percuma memilih jika kehidupan yang lebih baik tidak bisa didapatkan. Indonesia telah beberapa kali mengadakan pesta demokrasi atau pemilu sepanjang pencapaian kemerdekaan. Tak bisa dipungkiri pengalaman panjang pemilu telah didapat dan sebuah pembelajaran sudah seharusnya didapat dari setiap pengadaan pemilu.
Pengalaman yang panjang pesta demokrasi atau pemilu tak cukup untuk meningkatkan gairah publik mengikuti pesta demokrasi yang berlangsung. Berbagai respon masyarakat akan terselengaranya pemilu juga berangam baik positif atau pun negarif telah didapat. Masyarakat sebagai bagian penting  pemilu tentunya merasakan dampak langsung dari pemilu sehingga memiliki respon tersendiri terhadap pemilu yang terselengara, tetapi sayangnya respon yang tentunya bersifat membangun itu tak dihiraukan pemerintah sebagai masukan untuk menjalankan pemilu yang lebih baik.
Apatis Memilih
            Pemilu adalah waktu dimana kita dapat memilih wakil atau pemimpin yang kita harapkan menerima aspirasinya untuk mewujutkan kesejahteraan baginya. Antara pemilih dengan  yang dipilih seharusnya memiliki pengetahuan tentang latar belakang wakil atau pemimpin yang mewakili, memperjuangkan aspirasinya dan untuk menjalankan pemerintahan ketika telah duduk disinggasana politiknya. Maka dari itu perlunya pendekatan dan pengenalan calon wakil rakyat kepada masyarakat agar mereka mengenal siapa dan bagaimana latar belakangnya, hingga pada hari pemilihan masyarakat dapat memilih pilihan yang tepat baginya.
            Kampanye menjadi ajang memperkenalkan diri para calon wakil rakyat, segala cara baik yang dikatakan haram maupun yang dikatakan halal dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat yang akan memilih sehingga dapat memilihnya ketika pemilihan. Tak bisa dinafikan banyak dana yang dihabiskan olehnya untuk menarik simpatik para pemilih untuk itu calon perlu modal besar untuk menjadi seorang calon wakil rakyat.
            Habis-habisan dalam kampanye pemilu membuat mereka memutar otak agar modal kampanyenya dapat kembali, pasalnya gaji sebagai wakil rakyak tak cukup untuk mengembalikan modalnya yang habis-habisan ketika kampanye. Tak jarang ketika meraka menduduki jabatan melakukan korupsi adalah satu caranya untuk mengembalikan modal kampanyenya, buktinya banyak wakil rakyat menjadi tersangka korupsi.
        Kenyamanan singgasana wakil rakyat membuat lupa bahwasanya mereka adalah penyalur aspirasi rakyat, apa yang dilakukan tak sama denggan  apa yang dijanjikan ketika  kampanye. Bertampang dan berbicara manis didepan masyarakat agar memilihnya tetapi ketika menikmati kenyamanan singgasana wakil rakyat seakan lupa bahwa mereka adalah wakil rakyat, tingkah lakunya yang tak mencerminkan sebagai wakil rakyat.  Tidur ketika rapat atau sidang, absen menghadiri sidang-sidang, sombong, dan banyak karakter yang tidak mencerminkan seorang wakil rakyat.
     Akhirnya menuai berbagai respon masyatakat terhadap produk pemilu yang menjanjikan pemimpin idealnya. Dari kenyataan yang mampak dimasyarakat  dan tidaknya menjadi pembelajaran tersendiri baginya, pembelajar tersebut ada yang meningkatkan slektifitas dan sensitifitas untuk memilih pemimpinnya serta ada yang apatis dan menggangap bahwa pemilu akan sama saja dan menghasilkan pemimpin yang sama juga.
            Meningkatkan  pemahaman pemilih agar lebih selektif memilih tentu akan percuma jika tidak memulai denggan  memberikan pemahaman melalui pendidikan politik. Tampak terlupakan ketika antara pemerintah dan partai politik tak lagi memberikan pemahaman pentingnya demoktrasi dalam sistem pemerintahan. Pemerintah dan partai politik sibuk mengurusi masing-masing diri sendiri untuk menjalankan tugas pemerintahan dan bagaimana menyusun strategi pemenangan pemilu bagi partai politik, dan hanya muncul pada saat-saat pemilu yang semakin dekat.
         Meningkatkan gairah partisipasi masyarakat untuk memilih butuh waktu yang panjang, masyarakat sebenarnya butuh bagaimana contoh wakil-wakil rakyat yang benar-benar dapat memperjuangkan aspirasinya sehingga masyarakat mengganggap penting wakilnya sangat penting untuk memperjuangkan aspirasinya. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bagaimana selektif memilih pemimpin melalui pendidikan politik oleh pemerintah dan partai politik serta sangat penting seharusnya pemerintah memperketat regulasinya untuk menyeleksi bakal calon wakil dan pemimpin rakyat. Intinya adalah pemerintah harus mendekorasi ulang sistem politik demokrasi Indonesia agar memaksimalkan partisipasi politik masyarakat.

Tulisan ini diselesaikan pada 25 Desember 2013