Welcome to My Blog

Lentera Merah, nur di dalam kegelapan.

Awal Harapan dan Cita-Cita

Bersama teman-teman di pantai cermin,Sumatera Utara,Indonesia.

Setinas, Rakernas, Silatnas HIMNAS PKn

Wisata di Moseum Kalimantan Barat, Pontianak bersama Peserta dan Panitia Setinas, Rakernas, Silatnas HIMNAS PKn 2-4 November 2012 di STKIP PGRI Pontianak.

Foto Bersama Kombes Pol Drs. Heri Subiansauri, SH.MH.MSi

Dalam Seminar Nasional, Menyambut Hari Sumpah Pemuda tahun 2012 dengan tema “Pemuda Dan Patriotisme Dalam Menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Sema FIS Unimed) bekerjasama dengan Pusat Studi HAM Universitas Negeri Medan (Pusham Unimed) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) .

Nomor Punggung 4

Pelepas Minat setelah pertandingan FIS CUP tahun 2012.

Pages

Tuesday 30 June 2015

TENTANG UN

Oleh
Fazli Rachman
(Mahasiswa Jurusan PPKn UNIMED dan Pengurus HMI Komisariat FIS UNIMED)

            Sejak Ujian Nasional (UN) diselengarakan telah mengundang pro dan kontra dari berbagai elemen. Mereka yang pro terhadap UN tentu memeiliki pendapat dan pola fikir tersendiri mengapa UN sangat penting bagi peserta didik, sedangkan kontra memandang bahwa UN adalah sebuah wujud dari ketidakadilan serta kekeliruan Pemerintah terhadap penilaian hasil belajar peserta didik.
            Bagi mereka yang kontra, tentunya UN sebagai syarat kelulusan bagi peserta didik tentu kurang tepat jika melihat kondisi pendidikan Indonesia sekarang. Kualitas pendidikan yang belum merata baik sarana maupun prasarana antara kota dan desa serta daerah maju dan daerah tertinggal harus diikutsertakan dalam pelaksanaan UN dan diberikan soal yang sama. Oleh karena itu, terdapat banyak sekali kecurangan ketika penyelengaraan UN sehingga UN terkesan dipaksakan bagi peserta didik.
            Sedangkan bagi mereka yang pro UN, UN bukan hanya sekedar ujian kelulusan. Lebih jauh UN bertujuan untu pemetaan kualitas pendidikan; seleksi jenjang berikutnya; kelulusan dalam jenjang satuan pendidikan, serta; pembinaan dan pemberian bantuan terhadap satuan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, sebagaimana termaktub pada Pasal 68 PP No. 13 Tahun 2013 (Perubahan PP No. 19 Tahun 2005) Tantang Standar Nasional Pendidikan. Atas dasar tersebutlah diperlukan standarisasi/alat ukur secara nasional untuk peningkatan mutu pendidikan secara berkesinambungan perlahan dan menyeluruh.
***
Penyelengaraan UN sebagai standar kelulusan sekarang masih  mencakup aspek kognitif peserta didik. Sementara pendidikan mencakup 3 (tiga) aspek yaitu Kognitif, Psikomotor, dan Afektif. Untuk itu jika UN menjadi standar pendidikan di Indonesia tentu haruskah mencakup ketiga aspek tersebut, karena ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
            Sejak UN dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik sebenarnya terdapat kekeliruan. Bagaimana peserta didik dikatakan lulus jika hanya dinilai dari aspek kongnitif saja?. Sudah dijelaskan bahwa dalam konsep pendidikan Indonesia mencakup 3 (tiga) aspek yaitu Kognitif, Psikomotor, dan Afektif. Jika peserta didik dikatakan lulus hanya dalam satu aspek yaitu kognitif, maka terjadi ambiguitas dalam pendidikan Indonesia yang dilakukan selama ini.
            Seharusnya proses pendidikan yang telah pemerintah desain dengan cakupan  Kognitif, Psikomotor, dan Afektif, standar kelulusanya harusnya mencakup tiga aspek juga. Kenneth D. Moore menjelaskan  Kognitif, Psikomotor, dan Afektif memiliki subaspek seperti aspek kognitif yang terdiri dari ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintetis; afektif terdiri dari penerimaan, tanggapan, penanaman nilai, pengorganisasian nilai-nilai, karakterisasi kehidupan; dan psikomotor terdiri dari memperhatikan, peniruan, pembiasaan dan pemantapan prilaku.
            Sebelum proses pembelajaran, guru harus menyiapkan sebuah rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat Kognitif, Psikomotor, dan Afektif didalamnya. Tentunya proses pembelajaran juga mencakup 3 (tiga) aspek tersebut. Oleh karenanya penilaian terhadap hasil pembelajaran juga harus mencakup 3 (aspek tersebut). Baik kurikulum 2006 ataupun 2013 menurut penulis juga memuat ketiga aspek tersebut.
            Jika UN dijadikan sebagai standar kelulusuan peserta didik tentu kurang tepat, karena hanya mencakup aspek kognitif. Menurut penulis dapat dijadikan sebagai standar kelulusan peserta didik jika mencakup 3 (tiga) aspek tersebut, untuk itu UN harus direkonstruksi ulang sebagaimana mestinya.
Pelaksanaan UN sebagai syarat kelulusan bagi peserta didik tentu kurang tepat melihat kondisi pendidikan Indonesia sekarang. Kualitas pendidikan yang belum merata baik sarana maupun prasarana antara kota dan desa serta daerah maju dan daerah tertinggal harus diikutsertakan dalam pelaksanaan UN dan diberikan soal yang sama. Oleh karena itu, terdapat banyak sekali kecurangan ketika penyelengaraan UN sehingga UN terkesan dipaksakan bagi peserta didik.

***
            UN baik sebagai standar nasional pendidikan. Jika tidak ada satu alat ukur pendidikan, bagaimana dapat mengevaluasi pendidikan. Pelaksanaan UN dapat mengambarkan peta pendidikan nasional baik terhadap peserta didik, satuan pendidikan, dan kelembagaan bahkan terhadap konsep pendidikannya.
Apabila UN telah selesai dilaksanakan, maka hasil UN dapat dijadikan gambaran pendidikan nasional. Gambaran tersebut dapat menjadi acuan pembenahan mutu pendidikan. Jika UN tidak dilaksanakan pemerintah akan kewalahan untuk menentukan peta pendidikan nasional dan bagaimana pemerintah dapat melakukan pengukuran serta evaluasi terhadap pendidikan. UN bukan hanya sekedar ujian kelulusan. Lebih jauh UN bertujuan untu pemetaan kualitas pendidikan; seleksi jenjang berikutnya; kelulusan dalam jenjang satuan pendidikan, serta; pembinaan dan pemberian bantuan terhadap satuan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
Setidaknya problem pelaksanaan UN, jurtsu harus diperbaiki secara berkesinambungan. Secara umum, peningkatan kualitas guru; melengkapi sarana dan prasarana sekolah; akses informasi pendidikan yang baik; mengatasi dapak psikologi pelaksanaan UN bagi peserta didik, serta; meninjau kembali konsep pendidikan nasional. Perbaikan masalah UN yang selama ini telah beberapa kali terlaksana haruslah secara nyata dapat dirasakan oleh berbagai eleman pendidikan.
Kesimpulan
            Baik kelompok pro atau kontra terhadap UN, mereka sama-sama menggingkan meningkatnya kualitas pendidikan Indonesia. Melalui pelaksanaan UN seharusnya tidak menjadi “ajang penghakiman peserta didik” atas kualitas pendidikan Indonesia yang belum baik dan merata. UN seharusnya menjadi pelajaran kedepanya bagi penyelengara pendidikan atas pelaksanaan pendidikan selama peserta didik belajar pada satuan pendidikan.

            UN seharusnya menjadi ajang evaluasi bagi peserta didik dan pemerintah dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan dapat kita rasakan jika (salah satunya) UN berjalan dengan baik. Bukan hanya pada pelaksanaannya tetapi evaluasi, serta pengembangan secara berkesinambungan terhadap pendidikan Indonesia. Harapanya adalah kualitas pendidikan semakin baik.

Tulisan ini diselesaikan pada pertengahan 2014

Monday 29 June 2015

(MENINGKATKAN) GAIRAH MEMILIH

Oleh:
Fazli Rachman
(Mahasiswa PPKn FIS UNIMED dan Pengurus HMI Koms. FIS UNMED)

Mengairahkan partisipasi publik untuk pemilu 2014 harus diupayakan secara maksimal demi walaupun tidak ada paksaan untuk turut berpartisipasi. Meningkatnya jumlah pemilih dibandingkan tahun pemilu tahun 2009 bukan menjadi tolak ukur untuk kegairahan pemilu legislatif  2014 nantinya.
Lonjakan pemilih pada pemilu legislatif 2014 nantinya meningkat hingga 10 persen, menurut data sebelumnya jumlah pemilih mencapai 171 juta lebih jiwa sedangkan  untuk pemilu legislatif tahun 2014 nantinya mencapai 188 juta lebih jiwa setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun amat disayangkan ketika kenaikan jumlah pemilih tidak diikuti dengan naiknya minat memilih para wakil-nya yang nantinya akan duduk di singgasana politik yang katanya akan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Buktinya tingkat pasrtisipasi publik pada 1999 dan 2009 pada pemilu legislatif menurun 20 persen.
Klimaks partisipasi politik masyarakat ketika euforia politik yang sering terjadi  era revormasi seringnya pesta demokrasi digelar hanya menghasilkan wakil dan pemimpin rakyat tanpa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat, oleh karenanya tumbuh pada masyarakat sikap apatis akan pemilu. Pemilu adalah bagian dari demokrasi dan demikrasi adalah alat untuk memporoleh kesejahteraan.
Pemilu tahun 2014 maksimalkan diusahakan agar gairah untuk ikut dalam pesta demokrasi dengan  memilih dapat meningkat. Dewasa atau tidaknya demokrasi Indonesia tetap masih banyak masyarakat enggan untuk memilih dan menggangap percuma memilih jika kehidupan yang lebih baik tidak bisa didapatkan. Indonesia telah beberapa kali mengadakan pesta demokrasi atau pemilu sepanjang pencapaian kemerdekaan. Tak bisa dipungkiri pengalaman panjang pemilu telah didapat dan sebuah pembelajaran sudah seharusnya didapat dari setiap pengadaan pemilu.
Pengalaman yang panjang pesta demokrasi atau pemilu tak cukup untuk meningkatkan gairah publik mengikuti pesta demokrasi yang berlangsung. Berbagai respon masyarakat akan terselengaranya pemilu juga berangam baik positif atau pun negarif telah didapat. Masyarakat sebagai bagian penting  pemilu tentunya merasakan dampak langsung dari pemilu sehingga memiliki respon tersendiri terhadap pemilu yang terselengara, tetapi sayangnya respon yang tentunya bersifat membangun itu tak dihiraukan pemerintah sebagai masukan untuk menjalankan pemilu yang lebih baik.
Apatis Memilih
            Pemilu adalah waktu dimana kita dapat memilih wakil atau pemimpin yang kita harapkan menerima aspirasinya untuk mewujutkan kesejahteraan baginya. Antara pemilih dengan  yang dipilih seharusnya memiliki pengetahuan tentang latar belakang wakil atau pemimpin yang mewakili, memperjuangkan aspirasinya dan untuk menjalankan pemerintahan ketika telah duduk disinggasana politiknya. Maka dari itu perlunya pendekatan dan pengenalan calon wakil rakyat kepada masyarakat agar mereka mengenal siapa dan bagaimana latar belakangnya, hingga pada hari pemilihan masyarakat dapat memilih pilihan yang tepat baginya.
            Kampanye menjadi ajang memperkenalkan diri para calon wakil rakyat, segala cara baik yang dikatakan haram maupun yang dikatakan halal dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat yang akan memilih sehingga dapat memilihnya ketika pemilihan. Tak bisa dinafikan banyak dana yang dihabiskan olehnya untuk menarik simpatik para pemilih untuk itu calon perlu modal besar untuk menjadi seorang calon wakil rakyat.
            Habis-habisan dalam kampanye pemilu membuat mereka memutar otak agar modal kampanyenya dapat kembali, pasalnya gaji sebagai wakil rakyak tak cukup untuk mengembalikan modalnya yang habis-habisan ketika kampanye. Tak jarang ketika meraka menduduki jabatan melakukan korupsi adalah satu caranya untuk mengembalikan modal kampanyenya, buktinya banyak wakil rakyat menjadi tersangka korupsi.
        Kenyamanan singgasana wakil rakyat membuat lupa bahwasanya mereka adalah penyalur aspirasi rakyat, apa yang dilakukan tak sama denggan  apa yang dijanjikan ketika  kampanye. Bertampang dan berbicara manis didepan masyarakat agar memilihnya tetapi ketika menikmati kenyamanan singgasana wakil rakyat seakan lupa bahwa mereka adalah wakil rakyat, tingkah lakunya yang tak mencerminkan sebagai wakil rakyat.  Tidur ketika rapat atau sidang, absen menghadiri sidang-sidang, sombong, dan banyak karakter yang tidak mencerminkan seorang wakil rakyat.
     Akhirnya menuai berbagai respon masyatakat terhadap produk pemilu yang menjanjikan pemimpin idealnya. Dari kenyataan yang mampak dimasyarakat  dan tidaknya menjadi pembelajaran tersendiri baginya, pembelajar tersebut ada yang meningkatkan slektifitas dan sensitifitas untuk memilih pemimpinnya serta ada yang apatis dan menggangap bahwa pemilu akan sama saja dan menghasilkan pemimpin yang sama juga.
            Meningkatkan  pemahaman pemilih agar lebih selektif memilih tentu akan percuma jika tidak memulai denggan  memberikan pemahaman melalui pendidikan politik. Tampak terlupakan ketika antara pemerintah dan partai politik tak lagi memberikan pemahaman pentingnya demoktrasi dalam sistem pemerintahan. Pemerintah dan partai politik sibuk mengurusi masing-masing diri sendiri untuk menjalankan tugas pemerintahan dan bagaimana menyusun strategi pemenangan pemilu bagi partai politik, dan hanya muncul pada saat-saat pemilu yang semakin dekat.
         Meningkatkan gairah partisipasi masyarakat untuk memilih butuh waktu yang panjang, masyarakat sebenarnya butuh bagaimana contoh wakil-wakil rakyat yang benar-benar dapat memperjuangkan aspirasinya sehingga masyarakat mengganggap penting wakilnya sangat penting untuk memperjuangkan aspirasinya. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang bagaimana selektif memilih pemimpin melalui pendidikan politik oleh pemerintah dan partai politik serta sangat penting seharusnya pemerintah memperketat regulasinya untuk menyeleksi bakal calon wakil dan pemimpin rakyat. Intinya adalah pemerintah harus mendekorasi ulang sistem politik demokrasi Indonesia agar memaksimalkan partisipasi politik masyarakat.

Tulisan ini diselesaikan pada 25 Desember 2013