Oleh:
Fazli
Rachman
(Mahasiswa PPKn FIS UNIMED dan
Pengurus HMI Koms. FIS UNMED)
Sindo (Poros Mahasiswa), Ketika
kenaikan BBM beberapa waktu lalu, menimbulkan multiefek terasa bagi perumbuhan
ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi
yang sebelumnya relatif stabil juga terancam dengan kenaikan harga BBM.
Kenaikan harga BBM beberapa waktu lalu disebabkan melambungnya minyak harga
dunia yang diakibatkan gejolak politik Timur Tengah dan pertumbuhan ekonomi dunia yang melemah.
Setiap
kali penaikan subsidi BBM selalu dibarengi dengan gejolak pertumbuhan ekonomi
akibat shock kenaikan BBM. Hal ini karena kurangnya persiapan untuk
mengantisipasi dalam jangka panjang kenaikan BBM baik secara mendadak maupun
secara bertahap. Kesiapan menganggapi kemungkinan kenaikan BBM atau konsumsi
BBM yang melunjak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat
minim. Dikarenakan keterbatasan anggaran ditambah lagi pertumbuhan konsumsi BBM
yang selalu meningkat kisaran 10 persen pertahun menambah beban APBN untuk menutupi anggaran kenikan konsumsi
BBM.
Secara
sederhana, ketika BBM naik maka harga kebutuhan akan naik. Kenaikan harga
kebutuhan tentu akan menyebabkan menggurangnya daya beli masyarakat. Kenaikan
harga kebutuhan tentu akan menambah biaya hidup keluarga untuk mencukupi
kebutuhanya sehari-hari. Kejadian ini menyebabkan masyarakat miskin semakin
miskin lagi. Bahkan efek dari keniakan BBM juga akan memicu inflasi terjadi.
Keterbatasan
anggaran dan kenaikan konsumsi BBM seringkali mengakibatkan defisit anggaran
yang telah ditetapkan dalam APBN. Kondisi seperti semakin memperihatinkan ketika harga minyak dunia
mengalami kenaikan. Mau tidak mau harus menambah anggaran untuk menutupi
defisit anggaran yang terjadi, tak jarang diantaranya ditutupi dengan hutang
dengan negara lain.
Anggaran untuk subsidi BBM untuk tahun 2011
saja adalah sekitar 211 Triliun Rupiah. Anggaran sebesar tersebut hanya
diperuntukan untuk menutupi biaya subsidi BBM bagi rakyat. Subsidi sebenarnya diperuntukan untuk
masyarakat miskin. UU RI No. 30 tahun 2007 tentang Energi menegaskan pada Pasal
7 (2) Pemerintah menyediakan untuk
kelompok masyarakat tidak mampu.
Namun
kenyataan subsidi BBM dimanfaatkan oleh kelas menegah hingga kelas atas. Lebih
dari 70 persen penguna subsidi BBM dinikmati oleh kalangan menegah keatas.
Sepertinya Pemerintah harus membuat standarisasi miskin sehingga kelompok
masyarakat tidak mampulah yang menikmati subsidi BBM.
Menurut data SUSENAS BPS
menunjukan bahwa 40 persen masyarakat menengah ke bawah hanya mendapatkan
manfaat sebesar 13 persen dari subsidi BBM. Kolompok yang paling menikmati manfaat
dari subsidi BBM adalah 40 persen masyarakat teratas di Indonesia dengan bagian
sebesar kisaran 70 persen.
Sudah
jelas bahwa subsidi BBM tidak tepat sasaran. Banyak wacana untuk mencabut
subsidi BBM karena dinilai tidak tepat sasaran. Mencabut subsidi BBM justru
menambah beban masyarakat secara otomatis akan menambah biaya hidup masyarakat,
khususnya kelompok masyarakat miskin.
Ini sesungguhnya merupakan wujud ketidakmampuan
pemerintah untuk mengawal subsidi BBM hingga dapat dinikmati oleh kelompok
masyarakat miskin UU RI
No. 30 tahun 2007. Untuk itu Pemerintah harus mengevaluasi kenerja pengawalan
dan pemanfaatan subsidi BBM.
Dapat kita bayangkan 70 persen subsidi BBM yang
digunakan oleh kalangan 40 persen masyarakat berpenghasilan tinggi digunakan
untuk membangun infrastruktur, penguatan ekonomi dan pendidikan. Indonesia akan
membangun fondasi perekonomian yang kuat.
Subsidi BBM yang tidak tepat sasaran
tidak dapat dipandang sebelah mata. Besarnya jumlah BBM bersubsidi yang salah
sasaran harus dilakukan kontrol sehingga biaya subsidi BBM dapat diperuntukkan
untuk sekrot yang lebih bermanfaat dan multiefek serta meningkatkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia.
0 comments:
Post a Comment